
Caption Gambar:
JAKARTATODAY.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Selly Andriany Gantina menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11/2025).
Selly Gantina menilai, kejadian ini bukan sekadar bencana fisik, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis luas bagi seluruh ekosistem sekolah, mulai dari siswa, guru, orang tua, hingga tenaga pendukung.
“Kita tidak hanya bicara soal luka tubuh, tetapi juga luka batin. Anak-anak, guru, orang tua, bahkan petugas sekolah bisa mengalami trauma. Karena itu, penanganannya tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh, lintas aspek, dan lintas instansi,” ujar Selly dalam keterangan persnya, Minggu (9/11/2025).
Sebelumnya ledakan terjadi di SMAN 72 Jakarta saat kegiatan keagamaan di sekolah. Peristiwa itu menyebabkan 54 orang terluka, sebagian besar siswa, yang kini masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit di Jakarta.
Mengutip laporan awal kepolisian serta pemberitaan media lainnya, pelaku pengeboman diduga merupakan siswa berusia 17 tahun yang mengalami tekanan sosial dan perundungan (bullying) di lingkungan sekolah.
Menanggapi itu, Selly Gantina menyebut tragedi ini sebagai peringatan serius, banyak sekolah di Indonesia belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak.
Ia juga menyoroti pandangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang tua dan sekolah, namun menegaskan bahwa masalah tersebut harus dilihat dalam konteks tanggung jawab sistemik.
“Masalahnya bukan hanya di rumah atau di sekolah, tapi di ekosistem perlindungan anak yang belum bekerja optimal. Anak kehilangan ruang aman untuk bicara, kehilangan telinga yang mau mendengar,” tegasnya.
Mantan Wakil Bupati Cirebon itu menambahkan, banyak anak kini melampiaskan rasa terasing dan kegelisahan ke ruang digital, di mana konten ekstrem bisa menjerumuskan.
“Jika sekolah tidak ramah dan rumah tidak menjadi tempat curhat, maka media sosial mengambil alih fungsi pendidikan emosional anak. Itu yang berbahaya,” jelasnya.
Sebagai anggota DPR RI yang membidangi isu sosial, keagamaan, dan perlindungan anak, Selly menekankan, penanganan pascatragedi tidak cukup hanya secara medis. Ia menilai, trauma akibat peristiwa tersebut bersifat komunal dan berdampak pada seluruh lingkungan sekolah.
“Anak yang tidak terluka pun bisa trauma. Guru, staf, hingga orang tua juga terdampak secara psikis. Maka, pemulihan psikotraumatik harus dilakukan menyeluruh, bukan selektif,” ujarnya.
Karenanya, ia mendorong Kementerian PPPA, Dinas Pendidikan, dan KPAI untuk segera membentuk Tim Respon Krisis Sekolah yang melibatkan psikolog, guru BK, serta perwakilan orang tua. Tim tersebut diharapkan mampu melakukan asesmen psikologis dan menyusun program pemulihan kolektif pasca-trauma di lingkungan sekolah.
Ia juga menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap konsep Sekolah Ramah Anak, yang dinilai belum memiliki indikator terukur dan mekanisme pengawasan yang kuat.
“Ramah anak bukan sekadar slogan di dinding sekolah. Itu harus nyata dalam sistem: ada kanal aduan yang aman, ada pendidikan anti-bullying, serta ruang dialog antara anak, guru, dan orang tua,” ujarnya.
Ia menambahkan, pentingnya literasi digital dan komunikasi empatik bagi orang tua, agar mampu mengenali tanda-tanda distress pada anak.
“Banyak orang tua tidak sadar, perubahan kecil pada perilaku anak bisa menjadi sinyal bahaya. Karena itu, mereka perlu dibekali kemampuan komunikasi yang peka,” tutupnya. **
(JAKARTA TODAY)







.jpg)







LEAVE A REPLY