Home Nasional Waketum Partai Gelora Ungkap Sumber Keresahan Rakyat, Fahri Hamzah Unggah Pasal Ini

Waketum Partai Gelora Ungkap Sumber Keresahan Rakyat, Fahri Hamzah Unggah Pasal Ini

Berita Nasional

SHARE
Waketum Partai Gelora Ungkap Sumber Keresahan Rakyat, Fahri Hamzah Unggah Pasal Ini

Caption Gambar: Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah buka suara mengenai sumber keresahan rakyat. (Sumber Wikipedia)

JAKARTA TODAY.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah buka suara mengenai sumber keresahan rakyat.

Mengungkap sumber keresahan rakyat dibahasnya, Fahri Hamzah pun menyebutkan salah satu pasal di Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Diketahui, pasal tersebut yakni UUD 1945 Pasal 27 ayat (1).

Lalu, darimana sumber keresahan masyarakat yang maksud Fahri Hamzah?

Berikut penjelasan Fahri Hamzah melalui akun Twitternya @Fahrihamzah.

"UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Kita harus bersatu untuk memperjuangkannya. Sebab Inilah sumber keresahan rakyat.

#Harapan2021" tulis akun @Fahrihamzah dikutip Jakartatodaynews.com, Sabtu (26/6/2021).

Profil Fahri Hamzah

H Fahri Hamzah SE, lahir di Utan, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 10 November 1971.

Ia dalah seorang politikus Indonesia dari Nusa Tenggara Barat yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sejak tahun 2014.

Fahri tercatat pernah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Mataram pada tahun 1990 hingga 1992.

Dia tidak melanjutkan kuliahnya di Unram dan memilih masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1992.

Di UI-lah kegiatan aktivisnya berkembang.

Ia menjadi ketua umum Forum Studi Islam di fakultasnya, dan juga tercatat pernah menjadi ketua departemen penelitian dan pengembangan di senat mahasiswa universitas periode 1996–97.

Seiring bergulirnya Reformasi pada 1998, Fahri yang aktif di organisasi-organisasi mahasiswa Islam di Jakarta turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang, dan menjabat sebagai Ketua I pada periode 1998–1999.

Ia ikut serta mengorganisasi gerakan-gerakan melawan rezim Orde Baru bersama KAMMI.

Bahkan, setelah jatuhnya Soeharto, ia bersama gerakannya tetap mendukung presiden baru BJ Habibie, meski sebagian besar mahasiswa saat itu mulai menentang Habibie yang dianggap tidak berbeda dengan pendahulunya.

Ia terpilih jadi staf ahli Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2002 dan ikut dalam diskusi-diskusi terkait amendemen UUD 1945.

Selain itu, Fahri terpilih ke DPR pada pemilihan umum legislatif Indonesia 2004 lewat daerah pemilihan NTB, tanah kelahirannya.

Ia terpilih ke komisi III yang membidangi hukum dan menjadi wakil ketua, dan terus di sana sampai terpilih kembali dalam pemilihan umum legislatif Indonesia 2009.

Pada 15 November 2011, ia dipindahkan ke komisi IV yang membidangi antara lain BUMN dan perdagangan, sekaligus ke Badan Kehormatan DPR menggantikan Ansory Siregar.

Posisinya sebagai wakil ketua di komisi tersebut digantikan oleh Nasir Djamil, rekannya di fraksi PKS.[7]

Pada Mei 2013, Fahri dan Nasir (yang sebelumnya dipindahkan ke komisi VIII), dikembalikan ke komisi III.

Kontroversi

Pada bulan Juni 2007, setelah menjabat sebagai anggota DPR, Fahri mengaku menerima dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar Rp150 juta dari Rokhmin Dahuri yang menjabat sebagai menteri kelautan saat itu.

Pada berita acara pemeriksaan, Fahri mendapat Rp200 juta.

Fahri mengaku mendapat dana tersebut pada periode 2002–2004 sebagai pembuat makalah pidato Rokhmin sebelum dirinya menjabat di DPR.

Sebulan kemudian, Badan Kehormatan DPR memutuskan Fahri bersalah menerima dana nonbudjeter itu.

Ia dilarang menjabat pimpinan alat kelengkapan dewan sampai 2009.

Sanksi dari BK DPR sempat menuai protes keras dari fraksi PKS yang saat itu dipimpin Mahfudz Siddiq.

Mahfudz menyatakan bahwa wakil ketua BK, Gayus Lumbuun, berusaha menggiring Rokhmin untuk Fahri bersalah dalam kasus dana nonbudjeter tersebut.

Tetapi, setelah pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Fahri dinyatakan bersih.

Lalu, Pada 3 Oktober 2011, Fahri mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan KPK sendiri.

Ia beralasan KPK gagal menjawab waktu delapan tahun untuk menangani korupsi sistemik dan mengklaim DPR sudah memberikan dukungan luar biasa untuk pemberantasan korupsi.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebut usulan tersebut sebagai sebuah blunder, sementara yang lainnya menyebut wacana tersebut tidak akan direspon publik.

Meskipun begitu, elit PKS mendukung pendapat Fahri ini dan fraksi PKS di DPR menolak memberikan sanksi, menyatakan opini tersebut sebagai bagian dari "kebebasan berekspresi.

(Jakartatodaynews.com)