Home Allsports Eksklusif! Rahadewineta, Wasit Perempuan Pertama Indonesia yang Jadi Pengadil di Paralympic Games Tokyo 2020

Eksklusif! Rahadewineta, Wasit Perempuan Pertama Indonesia yang Jadi Pengadil di Paralympic Games Tokyo 2020

Paralympic Games Tokyo

SHARE
Eksklusif! Rahadewineta, Wasit Perempuan Pertama Indonesia yang Jadi Pengadil di Paralympic Games Tokyo 2020

Caption Gambar: Rahadewineta menunjukkan sertifikan wasit inter asional 1st class. Neta juga pernah jadi pengadil di Olimpiade Rio 2016. (Foto dok Rahadewineta)

Jakartatodaynews.com, JAKARTA - TIIING. Bunyi pesan yang setiap masuk ke email itu selalu membuat penasaran Neta. Ada belasan email yang masuk memang, tapi ada satu pesan yang paling ditunggu.

Pesan email itu datang dari World Taekwondo (WT). Dia tak langsung membuka pesan. Sekitar 5 menit Neta menatap layar gadget-nya. Deg-degan.

Rasa deg-degan itu sama persis Neta rasakan seperti di 2016. Di tahun itu, dia juga mendapat email dari WT. Yang isinya, Neta lolos jadi wasit Taekwondo Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Brasil.

Hal itu menjadikan Neta sebagai wasit perempuan pertama Indonesia yang berlaga di Olimpiade.

Setelah 5 menit memandang layar gawainya, Neta mulai membuka pesan itu. Tapi, dia baca Alfatihah dulu. Untuk buka attachment-nya. Karena, di dalam attachment itu baru ketahuan Top 30 atau failed.

“Selalu deg-degan kalau dapat email dari WT. Apapun itu. Entah penugasan ataupun hasil pengumuman seperti ini,” kata Neta saat bercerita kepada Jakartatodaynews.com perihal isi email dari WT.

Di dalam attachment itu tertulis tanggal 4 Juni 2021. Isi pesannya seperti ini:

Dear Rahadewineta, i have pleasure to hereby appoint you as one of the International Referees for Tokyo 2020 Paralympic Games Taekwondo,” tulis World Taekwondo (WT) di awal pesan email itu.

Pesan email dari WT itu adalah buah hasil dari perjuangan Neta pada 2019. Untuk jadi pengadil di Olimpiade, seseorang harus mempunyai lisensi wasit internasional. 

Perjalanan Neta mendapatkan International Referees (IR) first class WT dimulai sejak 2009.

Dia bercerita, ada beberapa persyaratan untuk bisa ikut seminar IR. Di antaranya, harus punya lisensi wasit nasional, minimal Dan 4 Kukkiwon (KKW), dan minimal umur 25 tahun ketika lulus dari seminar tersebut.

“Saya dapat kartu wasit IR dengan kode 3rd class. Karena kalau Dan KKW-nya kurang dari Dan 4, dapat predikatnya cuma P-class. Sementara pada 2009 saya baru dapat 3rd class,” ujarnya.

Seharusnya, untuk naik 2nd class, persyaratannya hanya butuh waktu tiga tahun dengan pencapaian 8 poin. 

Maksudnya, kata dia, untuk mendapatkan poin tersebut harus ikut seminar perwasitan minimal setahun sekali. Selain itu, ikut event-event resmi WT yang ada Grade G1, G2, G4, dan G12 sebanyak 8 kali atau lebih.

Ada beberapa faktor yang mengganjal dirinya untuk meraih 1st class lebih cepat. Salah satunya masalah gender. Usia dia masih 25 tahun pada 2009 yang sudah mendapatkan titel wasit IR. Meskipun sudah punya predikat wasit IR, Neta masih turun bertanding di kejuaraan dunia di Madrid, Spanyol.

“Nah, setelah saya pensiun dari atlet pada 2010, saya pun masih kurang dapat kesempatan tugas di luar negeri untuk event resmi,” terang Neta.

Akhirnya, pada 2015, Neta mendapat promosi ke 2nd class. Jadi, butuh waktu 6 tahun untuk mencapai poin yang diwajibkan WT supaya bisa promosi naik level. 

“Pada 2016, saya lolos tes untuk bertugas di Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil. Jadi untuk dari 2nd class ke 1st class rada mulus jalannya, karena memang persyaratan dari WT itu supaya dipromosikan ke 1st class butuh 5 tahun dengan pencapaian 15 poin,” jelasnya.

“Alhamdulillah tepat waktu dalam 5 tahun ini, bahkan poin yang saya kumpulkan sudah lebih, karena sering dapat penugasan-penugasan di event-event resmi WT,” tambahnya.

Neta menambahkan, idealnya cukup ditempuh 8 tahun dari 3rd class ke 1st class, tapi dia menempuhnya hingga 11 tahun, karena di awal karirnya agak tersendat. 

Tapi, kata dia, poin terpentingnya wasit-wasit taekwondo di Indonesia tidak semua bisa terpilih ditugaskan oleh WT ke event-event resmi yang berbobot G1, G2, G4, G12, dan G20.

Untuk mendapatkan lisensi wasit IR 1st class tak semudah membalikan telapak tangan. Ada beberapa rintangan yang harus ditempuh Neta. Salah satunya masalah biaya.

Neta menjelaskan, ketika wasit mencari poin, kemungkinan besar bisa bertugas di event G1 atau G2. Tapi, biasanya disuruh bayar sendiri alias tidak ditanggung pemerintah.

“Makanya, beratnya untuk bisa dapat promosi itu, kesempatan yang datang suka berhalangan dengan dana. Seperti tiket pesawat harus bayar sendiri. Misal, untuk seleksi jadi wasit Olimpiade, semua tiket pesawat harus cari sponsor atau biaya sendiri,” jelas Neta.

Ada juga tiket yang dibiayai pemerintah. Seperti event G4 atau Asian Games, ada juga G12 untuk kejuaraan dunia. Sementara, untuk G20 atau Olimpiade semua ditanggung oleh World Taekwondo (WT).

Menurutnya, saat ini dia merasa bersyukur. Sebab, para dewan guru yang pada 2009 lulus bareng jadi wasit International Refaree (IR) hingga saat ini belum dipromosikan ke 1st class. Karena mereka tidak dapat kesempatan tugas di event-event resmi.

“Tapi, di Indonesia ada lima orang master yang semuanya pria sudah dapat predikat 1st class. Dan semua bapak-bapak dewan guru usinya 50 tahunan. Untuk level wasit-wasit WT saja, usia 35 tahun untuk dapat 1st class itu jarang loh. Bukan cuma di Indonesia saja, di dunia pun minat perempuan jadi wasit itu jarang,” terangnya.

Setelah mendapat lisensi IR 1st class world dan jadi wasit Olimpiade Rio, pada Mei 2019, Neta terpilih ikut seleksi wasit Paralympic di Moscow, Rusia.

Nah, untuk terpilih ikut seleksi tersebut, seorang wasit harus memiliki sertifikat wasit internasional Paralympic Taekwondo. Dan mempunyai jam terbang yang terecord WT.

Ada ratusan wasit internasional dari 5 benua yang diundang ikut seleksi, salah satunya Indonesia yang diwakili Neta. Dari ratusan wasit tadi dites secara fisik, pengetahuan, manajemen pertandingan, kesehatan dan interview.

Nah, dari ratusan wasit itu, lalu diambil Top 50. Dari Top 50 itu dipantau selama kualifikasi oleh setiap benua. Selanjutnya mereka dikirim bertugas dalam kualifikasi atlet-atlet yang mencari tiket Paralympic di tiap benua.

Kualifikasinya ada di Australia untuk benua Oceania. Benua Eropa diwakili Bulgaria. Maroko perwakilan benua Afrika dan Kosta Ruka untuk benua Amerika.

Seharusnya, kata Neta, semua kualifikasi dijalani pada 2020. Tapi, karena pandemi ada perubahan jadwal.

“Februari 2020, saya sempat berangkat seleksi kualifikasi di Rabat, Maroko untuk zona Afrika,” ucapnya.

Ketika Covid-19 mulai menyebar ke seluruh dunia, event World Taekwondo ditunda semua. Untuk kualifikasi zona Eropa seharusnya digelar di Milan, Italia pada Maret 2020, tapi ditunda. Lalu kualifikasi di Milan dilanjutkan pada Mei 2021 tapi dipindahkan ke Bulgaria.

“Alhamdulillah di Bulgaria sudah saya jalani kualifikasi zona Eropa dan berjalan lancar. Tentunya mentaati prokes dan beberapa kali tes swab,” ujarnya.

Setelah perjuangan yang cukup panjang, kabar gembira itu datang pada 4 Juni 2021. World Taekwondo merilis Top 30 wasit yang akan jadi pengadil di Paralympic Tokyo 2020. 

Lima belas orang wasit perempuan dan 15 lagi wasit laki-laki. Neta melihat, WT memperdulikan kesetaraan gender. Sebab, masih pada cabang olahraga lain masih ada ketimpangan wasit perempuan dan wasit laki-laki.

“Cabor Taekwondo dari Olimpiade Rio 2016 sudah menggalakkan kesetaraan gender. Jadi kesempatan bersaing dari pihak wasit perempuan punya peluang sama besar,” jelasnya.

Neta menjelaskan, adanya cabor Para-Taekwondo yang dipertandingkan di Paralympic Games Tokyo 2020 merupakan sejarah. Sebab, Para-Taekwondo saat debut di Paralympic Rio 2016 hanya sebagai cabor demonstrasi.

Mungkin, lanjutnya, banyak yang belum tahu kalau cabor Para-Taekwondo itu ada. Untuk saat ini, tim Indonesia belum mempunyai atlet Para-Taekwondo.

“Saya sendiri sudah lulus sertifikasi kepelatihan internasional atlet Para. Tapi memang atlenynya sendiri belum ada. Jadi belum ada yang bisa dilatih dan dikirim ke ajang kualifikasi Paralympic,” terangnya.

Meskipun belum ada atlet Indonesia untuk cabor Para-Taekwondo di Paralympic Tokyo, namun, Indonesia harus bangga bisa mengirimkan wakilnya ke Paralympic Tokyo 2029. Meskipun lewat wasit.

Sekedar diketahui, Rahadewineta lolos ke Paralympic Games Tokyo 2020 sebagai wasit profesional atau mandiri. Dia tak terikat dengan Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI).

Namun, Neta ingin diakui oleh PBTI dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sebagai kontingen dari Indonesia. Karena kalau untuk masalah biaya, dia sudah ada sponsor yang selama ini membiayainya.

“Dulu pas Olimpiade Rio saya sudah menghadap ke Sekjen KOI Dodi Kumis, tapi beliau bilang kalau wasit bukan bagian dari kontingen. Katanya harus dari PBTI yang kirim nama, baru nama saya diakui KOI,” terangnya.

Bagi Neta, berangkat sendiri tanpa biaya dari pemerintah pun tak masalah. Sebab, dia mendapat dukungan dari Yayasan Universal Taekwondo Indonesia (UTI). 

“Serunya jadi wasit begini. Harus mandiri. Untungnya selalu di back up dari Yayasan UTI yang selalu support,” katanya.

 

(Jakartatodaynews.com)