
Caption Gambar:
JAKARTATODAYNEWS, Jakarta - Di awal tahun 2000-an, Indonesia diguncang oleh sebuah kasus yang kemudian menjadi salah satu arsip kriminal paling terkenal di Asia Tenggara: Kasus Mutilasi Sumanto, seorang pria dari Purbalingga, Jawa Tengah, yang didakwa melakukan tindakan kanibalisme.
Dua dekade berlalu, kasus ini tetap menjadi rujukan ilmiah, psikologis, hingga antropologis tentang bagaimana kondisi sosial, kepercayaan lokal, dan kesehatan mental dapat bersinggungan hingga menghasilkan tragedi yang mengguncang publik.
Laporan ini merangkum temuan investigasi dari berbagai sumber: laporan investigasi media nasional, wawancara dokumenter termasuk kanal YouTube Narasi, artikel majalah kriminal era 2000-an seperti Hidayah dan Liberty, analisis psikologi kriminal, hingga jurnal ilmiah mengenai extreme deviant behavior di Asia.
“Saya hanya ingin kuat,”
ujar Sumanto dalam wawancara dokumenter (YouTube, 2017), ketika ditanya motifnya melakukan aksi tersebut.
Dari hasil penelusuran sejumlah laporan lama media massa seperti Kompas, Detik, serta majalah Forum Keadilan, Sumanto digambarkan sebagai sosok yang: hidup dalam kondisi sangat miskin, mengalami isolasi sosial, memiliki ketertarikan pada praktik-praktik supranatural, dan menunjukkan tanda-tanda gangguan persepsi realitas.
Beberapa warga Desa Palimanan, tempat tinggal Sumanto, mengakui bahwa ia “sering bicara sendiri” dan “percaya tubuhnya bisa kebal bila melakukan ritual tertentu”.
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (dilaporkan sejumlah media saat persidangan 2003), Sumanto melakukan penggalian makam di lokasi pemakaman lokal. Ia mengambil bagian tubuh manusia yang sudah meninggal—tindakan yang kemudian memunculkan stigma kanibalisme, meski mayoritas pakar forensik menegaskan bahwa kasus ini tidak memenuhi unsur kanibalisme ritual seperti di kasus internasional.
Dr. Handini, ahli forensik UGM, yang diwawancarai dalam sebuah jurnal analisis kriminal tahun 2004, menegaskan,
“Kasus Sumanto lebih pada pengambilan organ mayat karena alasan psikologis dan keyakinan pribadi, bukan tindakan agresi terencana terhadap korban hidup.”
Meski begitu, dampak sosialnya besar. Media era 2000-an menggambarkan kasus ini sebagai “mutilasi”, “kanibalisme”, dan “ritual mengerikan”, sehingga membentuk stigma yang melekat hingga kini.
Beberapa warga yang kami temui pada wawancara ulang tahun 2023 menyatakan bahwa Sumanto sebenarnya dikenal sebagai pribadi pendiam.
“Dia bukan orang jahat. Dia cuma kesepian,” ujar seorang tokoh desa, nama disamarkan.
Di sisi keluarga, mayoritas mereka mengatakan, Sumanto dianggap aneh selama bertahun-tahun tetapi mereka tidak sadar jika sang kanibal membutuhkan pertolongan seorang profesional.
Pada sisi Psikolog Klinis, Dr. Niken Ayu, seorang psikolog kriminal (wawancara 2024), tindakan Sumanto tidak dapat dilepaskan dari latar belakang mental.
“Kasusnya lebih dekat dengan culturally-influenced delusion — delusi yang dipengaruhi keyakinan lokal,”katanya.
Sumanto Versi Internasional
Agar perspektif lebih utuh, tim investigasi membandingkan kasus Sumanto dengan empat kasus mutilasi/kanibalisme paling fenomenal dunia.
1. Jeffrey Dahmer – AS (1991)
Motif seksual dan dominasi. Korban hidup. Perencanaan tinggi.
2. Issei Sagawa – Jepang (1981)
Kasus internasional terkait obsesi psikoseksual. Mendapat perhatian dunia karena proses hukumnya yang rumit.
3. Armin Meiwes – Jerman (2001)
Kasus consensual killing yang langka dan memantik perdebatan etika serta hukum internasional.
4. Tsutomu Miyazaki – Jepang (1988–1989)
Kasus pembunuhan berseri disertai perilaku menyimpang ekstrem, dianggap representasi psychopathic deviant behavior.




.jpg)







LEAVE A REPLY