Caption Gambar:
JAKARTATODAYNEWS, Labuan Bajo, NTT – Polemik tambang nikel di kawasan gugusan Pulau Komodo kembali memantik perdebatan nasional. Proyek pertambangan yang direncanakan di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), memicu gelombang penolakan dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, hingga lembaga internasional. Mereka khawatir, kehadiran tambang akan menghancurkan salah satu kawasan konservasi biodiversitas paling penting di dunia.
Pulau Komodo, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo (TNK), telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991. Selain menjadi habitat asli komodo (Varanus komodoensis), kawasan ini juga menyimpan kekayaan laut yang luar biasa, mulai dari terumbu karang hingga biota laut langka.
Namun, berdasarkan dokumen analisis investasi yang beredar, wilayah yang menjadi target eksplorasi nikel berada sangat dekat dengan kawasan konservasi, tepatnya di Pulau Banta dan sekitarnya. Meski pemerintah menyatakan lokasi tambang berada di luar zona inti taman nasional, para ahli lingkungan memperingatkan bahwa dampaknya akan tetap signifikan.
“Tambang terbuka, terutama untuk nikel, akan menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan peningkatan sedimen ke laut. Ini berbahaya bagi habitat laut dan terumbu karang,” ujar Dr. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB.
Berdasarkan data dari WALHI NTT dan Pusat Kajian Lingkungan UI, berikut sejumlah data penting terkait rencana tambang nikel:
Luas konsesi tambang: ±5.300 hektare
Perusahaan pemegang izin: PT SMN dan PT MKM (izin eksplorasi aktif sejak 2018)
Jarak lokasi ke zona Taman Nasional Komodo: ±10 kilometer
Jumlah warga terdampak: ±2.000 jiwa dari 4 desa di sekitar lokasi
Jenis tambang: Open-pit mining (tambang terbuka)
Selain itu, potensi polusi akibat limbah tailing yang mengandung logam berat seperti kromium dan kobalt menjadi kekhawatiran utama. Dalam studi WALHI pada 2023, ditemukan bahwa potensi pencemaran air tanah bisa mencapai radius 15 km dari titik eksploitasi utama.
Sejak awal 2024, berbagai aksi protes dilakukan oleh warga lokal, terutama masyarakat adat Mbehal dan Koja, yang wilayah leluhurnya terancam dirusak. Mereka menuntut pencabutan izin tambang dan keterlibatan publik dalam setiap proses perizinan.
“Kami hidup dari laut dan hutan. Kalau ini rusak, kami harus hidup dari mana?” kata Anastasia Dima, tokoh perempuan adat dari Pulau Komodo.
Aksi ini mendapat dukungan luas dari komunitas internasional. Sebanyak 35 organisasi lingkungan global, termasuk Greenpeace dan WWF, telah menyampaikan petisi kepada UNESCO dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Kementerian ESDM melalui juru bicaranya menyatakan bahwa seluruh proses perizinan sesuai prosedur hukum dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tengah dievaluasi ulang.
Namun, banyak pihak menilai proses perizinan tersebut tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai. Dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemberian izin kepada perusahaan yang memiliki afiliasi dengan elite nasional juga mencuat ke publik.
Kesimpulan: Masa Depan Pulau Komodo di Titik Kritis
Tambang nikel memang penting dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Namun, jika eksploitasi dilakukan dengan mengorbankan kawasan konservasi dan masyarakat adat, Indonesia bisa kehilangan salah satu aset ekologis paling berharga di dunia.
Komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan dan transisi energi hijau perlu dikawal dengan transparansi, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal.
LEAVE A REPLY