Home Peristiwa Skandal Rp16 Miliar: Pengusaha Jakarta Dituding Jadi Korban Kejahatan Kerah Putih di Lampung

Skandal Rp16 Miliar: Pengusaha Jakarta Dituding Jadi Korban Kejahatan Kerah Putih di Lampung

Penipuan

SHARE
Skandal Rp16 Miliar: Pengusaha Jakarta Dituding Jadi Korban Kejahatan Kerah Putih di Lampung

Caption Gambar: Dok Istimewa

JAKARTATODAYNEWS, JAKARTA - Drama hukum penuh kontroversi kembali mengguncang dunia bisnis tanah air. Tedy Agustiansjah, seorang pengusaha asal Jakarta, melaporkan dugaan penipuan bermodus kerja sama usaha yang menyeret nama besar Resto Bebek Tepi Sawah di Lampung. 

Kerugian yang dialami Tedy mencapai Rp16 miliar, ditambah ancaman kehilangan tanah senilai Rp48 miliar. Namun, sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang hari ini malah mengungkap fakta mengejutkan. Kuasa hukum Tedy, CH. Harno, SH, menyatakan bahwa saksi yang dihadirkan oleh pihak penggugat sama sekali tidak relevan.

“Saksi yang mereka bawa hanya pekerja biasa. Tidak tahu siapa pemilik lahan, tidak paham perjanjian apa pun. Ini sungguh memalukan, sebuah upaya terang-terangan membuang waktu dan merugikan semua pihak, termasuk pengadilan,” tegas Harno, Selasa (14/1/2025).

"Konspirasi Jahat" di Balik Gugatan Wanprestasi

Harno bahkan menyebut adanya indikasi konspirasi besar yang dirancang untuk merebut aset kliennya. Menurutnya, ada pihak-pihak yang dengan sengaja merancang skenario untuk “merampok” tanah milik Tedy melalui manipulasi hukum.

“Klien kami dimanipulasi dengan janji-janji manis. Tanahnya dijadikan proyek usaha dengan dalih kerja sama, tapi faktanya tidak ada perjanjian resmi yang melibatkan Resto Bebek Tepi Sawah. Bahkan, saat kami konfirmasi ke pemilik merek Bebek Tepi Sawah, mereka menyatakan tidak pernah terlibat dalam proyek ini. Jadi, siapa sebenarnya yang bermain di sini?” ujar Harno dengan nada tajam.

Harno menambahkan bahwa pihak penggugat menggunakan dalih wanprestasi untuk menyita tanah kliennya. “Ini modus operandi yang sangat licik, memanfaatkan celah hukum untuk menguasai aset orang lain,” tambahnya.

Janji Manis yang Berujung Skema Penipuan

Kasus ini bermula pada 2018, ketika Titin alias Atin, Komisaris PT. Mitra Setia Kirana, bersama menantunya, Andy Mulya Halim, menawarkan kerja sama membuka cabang Resto Bebek Tepi Sawah di atas tanah milik Tedy. Mereka menjanjikan proyek yang dikelola secara profesional dengan kontraktor terpercaya.

Namun, fakta berbicara lain. CV. Hasta Karya Nusapala, yang ditunjuk sebagai kontraktor, ternyata dimiliki oleh Andy Mulya Halim sendiri. Proyek mangkrak, uang Rp16 miliar raib, dan kini tanah Tedy disita sebagai jaminan gugatan wanprestasi.

“Kami menemukan bukti bahwa Andy memiliki 50% saham di CV. Hasta Karya Nusapala. Jadi, proyek ini sejak awal adalah jebakan untuk menguras aset klien kami,” ungkap Farlin Marta, kuasa hukum lain Tedy.

Terlapor Bungkam, Keadilan Dipertaruhkan

Titin dan Andy, dua nama utama dalam kasus ini, hingga kini bungkam. Saat dikonfirmasi, Titin tidak memberikan respons, sedangkan Andy hanya berujar singkat, “Silakan ke kuasa hukum saya.” Anehnya, kuasa hukum Andy juga enggan memberikan keterangan meski telah dihubungi berkali-kali.

Farlin menilai, diamnya para terlapor justru semakin memperkuat dugaan bahwa kasus ini adalah bentuk kejahatan terorganisir. “Ini bukan sekadar penipuan, tapi skema kriminal yang dirancang rapi. Kami berharap aparat hukum dapat menangani kasus ini secara serius dan transparan.”

Hakim dan Aparat Hukum di Bawah Sorotan Publik

Kasus ini telah menjadi perhatian luas karena nilai kerugiannya yang fantastis dan dugaan manipulasi hukum yang sistematis. Harno bahkan mempertanyakan kredibilitas proses hukum yang sedang berjalan.

“Jika saksi-saksi yang dihadirkan tidak relevan, lalu mengapa gugatan ini terus berlanjut? Ini harus menjadi tamparan keras bagi sistem peradilan kita. Jangan sampai hukum digunakan sebagai alat oleh pihak-pihak berkepentingan untuk merampok hak orang lain,” tandas Harno.

Masyarakat kini menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum. Apakah ini akan menjadi tonggak keadilan atau justru membuktikan bahwa hukum masih berpihak pada yang bermodal besar? Waktu yang akan menjawab.